Lihatdetail, foto dan peta dari listing properti 19738685 - disewa - Rumah/gudang/ruang produksi dian permai raya, Bandung - Babakan Ciparay, Bandung, Jawa Barat, Studio, 700 m², Rp 175 jt /tahun
Sekolah Menengah Kejuruan Negeri SMKN 5 Bandung meresmikan rumah produksi untuk kompetensi keahlian produksi film bekerjasama dengan PT Sanghyang Ganesha Alam Kusumah Brossa Film Production, yang akan memproduksi film series dan layar lebar. “Kerja sama ini ditandai dengan launching seremonial unit produksi kompetensi produksi film. Ada series dan layar lebar, konsepnya mengenai dunia pendidikan dan budaya Indonesia,” ujar Kepala SMKN 5 Bandung, Dini Yuningsih ditemui di Aula SMKN 5 Bandung, Jln. Bojong Koneng Kota Bandung, Selasa 18 Januari 2022. Dini berharap, kerja sama ini dapat meningkatkan kompetensi siswa agar mampu mewujudkan output dari lulusan SMK untuk BMW bekerja, melanjutkan, dan wirausaha. “Kerja sama ini adalah upaya peningkatan kualitas guru dan peserta didik yang ilmu dan pengalamannya dapat digunakan setelah lulus nanti. Ini merupakan bagian dari persiapan untuk mencetak peserta didik yang hebat di kompetensi keahlian produksi film,” tuturnya. Melalui rumah produksi ini, lanjut Dini, siswa kompetensi keahlian produksi film akan ditunjang fasilitas yang memadai untuk proses pembelajaran dan produksi karyanya. “Fasilitas telah sesuai standar. Insya Allah, kami sudah mempunyai kamera dan alat penunjang lainnya yang canggih untuk mendukung kelancaran produksi film nanti,” ungkapnya. Pihaknya pun akan memperkuat kompetensi guru dengan melaksanakan pelatihan sebagai asesor dan menjadikan SMK tersebut sebagai Lembaga Sertifikasi Profesi Pihak Pertama LSP-P1. Rencananya, para guru dari kompetensi keahlian produksi film akan melaksanakan pelatihan asesor pada Februari 2022. “Sehingga, lulusan atau peserta didik kita akan distandardisasi kemampuannya dari kompetensi masing-masing yang memang diasesmen oleh pihak industri dan gurunya yang sudah menjadi asesor,” jelasnya. Sementara itu, Direktur Utama PT Sanghyang Ganesha Alam Kusumah Brossa Film Production, Agus Mokhtar Sidiq menjelaskan, pihaknya terpanggil agar para siswa sebagai sineas muda ikut bersama-sama membangkitkan dunia perfilman di kalangan pelajar. “Untuk mendukung itu, kita akan melaksanakan festival film anak untuk siswa SMP, SMA, dan SMK di Kota Bandung,” ujarnya. Untuk proyek series dan film, tambahnya dijadwalkan mulai produksi pada Februari 2022. “Kita sudah buat jadwal penuh sampai Desember, termasuk membuat film dokumenter yang mengangkat kebudayaan dan kearifan lokal. Seperti, Kampung Naga di Tasikmalaya, Gunung Sancang di Garut, dan Raden Kalung di Kabupaten Bandung,” tuturnya. Salah seorang siswa kompetensi keahlian produksi film SMKN 5 Bandung, Violita Chandra Kania mengaku sangat antusias dengan hadirnya rumah produksi ini. “Senang pastinya. Jadi, ada fasilitas baru dan nantinya bakal punya pengalaman baru juga,” ungkap siswa kelas XI ini. Acara tersebut dihadiri perwakilan Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi, Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Baru serta Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah VII, Arief Subakti.***
DeskripsiProduk: Rumah Dijual di Sunter Agung Permai Tanjung Priok Jakarta Utara (Fully Furnished American Classic Design) Dekat Sunter Mall Jakarta Utara, Dekat Mall Artha Gading, Dekat RSPI Sulianti Saroso, Dekat RS Royal Progress, Dekat RS Satya Negara, Dekat Stadion JIS, Dekat PRJ Kemayoran, Dekat SMA Negeri 80 Jakarta Utara, Dekat Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta Utara, Dekat PRJ
SMKN 5 Bandung menggandeng PT Sanghyang Ganesha Alam Kusumah mendirikan rumah produksi yang akan melibatkan para siswa dan siswi di dalamnya INILAHKORAN, Bandung – SMKN 5 Bandung bekerjasama dengan PT. Sanghyang Ganesha Alam Kusumah Brossa Film Production melakukan deklarasi pendirian rumah produksi Brossa Film Production dan Lima Indera Production. Pendirian rumah produksi dengan PT Sanghyang Ganesha Alam Kususmah tersebut melibat siswa-siswi SMKN 5 Bandung sebagai mitra kerja produksinya. Kegiatan ini dilakukan, untuk mencetak peserta didik yang hebat di produksi film SMKN 5 Bandung. Baca Juga Saipul Jamil Bebas, Rumah Produksi Film Animasi Anak Berhentikan Kesepakatan dengan Televisi "Alhamdulillah barangkali patut kami syukuri, bahwa kerjasama ini untuk peningkatan kualitas dari guru serta peserta didik, sehingga ilmu dan pengalamannya dapat digunakan untuk out put dari anak-anak kami setelah lulus nanti dengan terwudnya tujuan pembelajaran SMK yaitu BMW, bekerja, melanjutkan, wirausaha," kata Kepala SMKN 5 Bandung, Dini Yuningsih, Selasa 18 Januari 2022. Dia mengatakan, untuk masalah fasilitas, sudah sesuai dengan standar, mulai dari peralatan kamera, kompetensi keahlian dan lainnya sudah tersedia di SMKN 5 Bandung.
Lihatdetail, foto dan peta dari listing properti 20089677 - dijual - Rumah Produksi dan Gudang di Leuwi Sari, Bandung - Soekarno Hatta, Bandung, Jawa Barat, 650 m², Rp 5,5 MLaporan Wartawan Tribun Jabar, Putri Puspita BANDUNG - Aksa Bumi Langit, rumah produksi yang berasal dari Kota Bandung, mempersembahkan sebuah film berjudul 'Alang-Alang' yang rencananya akan di ikutsertakan dalam festival internasional dan rilis di bioskop Indonesia pada kuartal II 2022. Film 'Alang-Alang' bercerita tentang perjuangan dan harapan anak yang tumbuh di daerah pelelangan ikan dengan layar lokasi Kota Pekalongan. Ide film 'Alang-Alang' diambil dari sang penulis sekaligus sutradara, Khusnul Khitam yang membuat dokumenter terkait 'Alang-Alang'. Baca juga Iko Uwais Syuting Film The Expendables 4, Foto Bareng Jason Statham, Saling Beri Pujian Istilah ini diambil untuk anak-anak pencuri ikan di tempat pelelangan ikan di Kota Pekalongan pada 2005. Sejak 2010, pria yang lebih akrab disapa Tatam itu mulai menulis cerita untuk film fiksi 'Alang-Alang' dan akhirnya bertemu dengan Chandra Sembiring, selaku produser film Alang-Alang. Tatam mengatakan, pertemuan denga rumah produksi Aksa Bumi Langit memiliki visi dan misi sama untuk mengangkat isu tentang resiliensi keluarga dapat terwujud. "Kami berharap film Alang-Alang dapat mengajak seluruh masyarakat, terutama orang dewasa, untuk lebih menyadari dan terpanggil untuk berperan dalam mendukung seluruh anak-anak di sekitar kita agar punya harapan baik di masa depan," kata Tatam di acara 'Bincang bersama Cast & Crew Film Alang-Alang' di Eduplex Coworking Space, Jalan Dago, Minggu malam 7/11/2021. Sebagai orang asli Pekalongan, Tatam menceritakan, ia melihat banyak anak-anak pelelangan ikan yang menjadi alang-alang. Padahal seharusnya, anak-anak tersebut bersekolah atau bermain. "Dari kejadian tersebut, saya tuangkan imajinasi dalam fiksi karena kalau dijadikan film dokumenter akan terbatas," ucap Tatam. Diperankan oleh Putri Ayudya dan Rafli Anwar sebagai pemain lokal, film ini mengangkat isu sosial, yakni kehidupan anak-anak yang sebagaimana mestinya. Baca juga Akan Dibuat Film, Kisah Gibran yang Hilang 6 Hari di Gunung Guntur Ketemu Sosok Mistis, Tayang 2022 Meskipun Rafli baru pertama kali main film layar lebar, namun sebelumnya, ia aktif di pertunjukan seni tradisional. "Saya senang bisa mengenal dunia perfilman. Dalam membentuk chemistry dengan Kak Putri juga nggak susah, karena dengan pemain lain juga saya mengikatkan tali persahabatan, jadi menganggap mereka ini sebagai kakak, ibu, atau ayah sendiri," ujar Rafli.Pekalongan(ANTARA) - Rumah Produksi Aksa Bumi Langit Bandung, Jawa Barat, menggarap film berjudul Alang-Alang di Kota Pekalongan, Jawa Tengah, dengan melibatkan 65 persen kru dan pemain dari warga setempat.
Menelusuri Ketakterhubungan dan Ketaksinambungan dalam Komunitas Film BandungGorivana AgezaWaktu menunjukkan pukul dan Kedai Cas kian disesaki pengunjung. Santos-Bandung Film Festival SBFF memasuki sesi terakhir dalam rangkaian acaranya yang berlangsung selama 20-22 Oktober 2017. SBFF adalah festival yang diinisiasi oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation UNESCO dengan mempertemukan Santos Brazil sebagai kota film dan Bandung sebagai kota desain untuk melakukan kolaborasi pemutaran dengan saling bertukar film asal kota masing-masing. Kedai Cas menjadi lokasi terakhir penyelenggaraan SBFF, setelah sesi-sesi pemutaran sebelumnya dilakukan di tiga tempat Cas sendiri merupakan kedai kopi milik dua sineas Bandung yang terletak di gang seputaran Jalan Dipati Ukur. Bermula dari kerja sama program antara Kedai Cas dengan beberapa pegiat dari Bandung Film Council BFC, lahirlah pemutaran film pendek bertajuk Nonton Film di Gang pada pertengahan 2016. Nonton Film di Gang secara rutin diadakan setiap bulan. Dalam waktu kurang dari satu setengah tahun, Kedai Cas menjelma menjadi tempat nongkrong anak komunitas film Bandung, dan tidak terbatas pada saat gelaran Nonton Film di Gang itu, 22 Oktober 2017, semua orang berbaur di Kedai Cas. Bagi pegiat komunitas film Bandung, SBFF adalah momen penting. Festival ini berhasil menjembatani dan menggandeng berbagai pihak yang cenderung hanya berkutat di lingkaran masing-masing. Momen itu menunjukkan bagaimana sesuatu yang berbeda dan berasal dari kejauhan, seperti film-film Santos, tidak hanya menyatukan para pegiat, melainkan juga membantu komunitas Bandung menyadari dan memahami dirinya sendiri. Sayangnya, keterhubungan di kalangan komunitas film di Bandung masih jauh panggang dari Pemutaran, Ruang PertemuanBersamaan dengan berhentinya program Nonton Film di Gang pada 2018, “kemesraan” para pegiat antarkomunitas perlahan luntur. Deden M. Sahid, salah satu sineas yang menginisiasi Nonton Film di Gang meyakini bahwa keberadaan ruang fisik amat signifikan dalam berkomunitas di Bandung. Pandangan serupa diungkapkan oleh Roufy Nasution, seorang sineas Bandung yang karyanya relatif berpengaruh bagi pembuat film dari generasi lebih muda. Ia mengatakan bahwa ada kalanya ia membanggakan era Kedai Cas bak sebuah kisah dalam satu dekade terakhir jumlah ruang pemutaran-diskusi seperti Kedai Cas, dan komunitas ekshibisi di skena komunitas Bandung jauh lebih sedikit ketimbang komunitas produksi. Kesenjangan ini berkaitan dengan situasi skena film Bandung yang didominasi oleh komunitas berbasis kampus—baik berupa program studi maupun unit kegiatan mahasiswa UKM film—yang mayoritas berkutat di ranah produksi. Sementara itu, kegiatan ekshibisi cenderung dikelola oleh komunitas non-kampus, contohnya bukan berarti komunitas berbasis kampus sama sekali tidak melakukan pemutaran film dan apresiasi. Komunitas berbasis kampus yang berfokus hanya pada aktivitas non-produksi, seperti Sinesofia Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan, menjadi semacam anomali. Serupa dengan Sinesofia, Liga Film Mahasiswa LFM ITB adalah contoh lain dari komunitas berbasis kampus yang beraktivitas di semua lini perfilman, mulai dari produksi hingga apresiasi dan kajian. Indicinema BandungObrolan Minggu 1 Perempuan dan DirinyaKomunitas ekshibisi sendiri di Bandung dapat dibedakan berdasarkan film-film yang diputarkannya. Pertama, ekshibisi yang berfokus pada film-film lokal Bandung. Sebagai contoh, Ruang Film Bandung lewat program Klinik Film dan pemutaran bulanan Cinemora Open House oleh Cinemora. Berdasarkan penuturan Roufy dari Cinemora, ekshibisi seperti ini umumnya bertujuan untuk memberikan ruang pada pembuat film pemula untuk mempertontonkan karyanya, tanpa perlu dibebani oleh kualitas dan pencapaian ekshibisi dengan programasi film-film alternatif, seperti yang dilakukan oleh komunitas Bahasinema dan Indicinema. Ekshibisi dengan corak seperti ini cenderung lebih berfokus pada aspek wacana dan kuratorial sehingga asal muasal pembuat film tidak menjadi soal. Ketiga, ekshibisi yang memutarkan film-film panjang. Sebagai contoh, Komunitas Layar Kita. Sepekan dua kali, secara rutin Layar Kita memutarkan dan mendiskusikan film-film panjang terutama film-film klasik, yang didominasi oleh film luar dari keragamannya, salah satu persamaan dan hambatan mendasar di antara komunitas-komunitas ekshibisi ini adalah mayoritas tidak memiliki ruangan pemutaran sendiri. Komunitas-komunitas ini perlu bekerja sama—dapat juga diartikan dengan “bergantung”—dengan pihak lain yang memiliki ruangan pemutaran. Misalnya, museum milik pemerintah, lembaga kebudayaan asing, galeri seni, resto dan jumlah komunitas ekshibisi dan ruangan pemutaran menimbulkan keresahan. Kesenjangan antara jumlah produksi film dengan ruang pemutaran berdampak pada keterputusan antara film dengan calon penontonnya. Alhasil, komunitas produksi lokal kesulitan mendistribusikan situasi ini lantas berkenaan dua hal. Pertama, pegiat komunitas, terutama komunitas produksi, cenderung menaruh perhatian lebih pada siapa yang membuat film. Kedua, penonton memiliki kecenderungan untuk lebih memedulikan film sendiri ketimbang siapa pembuatnya. Poin yang terakhir ini dapat dibandingkan dengan hasil pengamatan Roufy pada penonton Sinerame. Sinerame adalah program kerjasama antara Ruang Film Bandung, Co&Co, Cinemora dan sejumlah pihak lainnya, dengan Roufy sebagai juru program. Dalam dua kali gelaran Sinerame, mayoritas penonton dari pemutaran ini berasal dari kalangan umum yang cenderung memusatkan ketertarikan hanya pada dengan Roufy, mantan direktur program Ganesha Film Festival 2018 dan programmer Indicinema, Damar Bagaskoro mencontohkan pemutaran film “Tak Ada yang Gila di Kota Ini” karya Wregas Bhanuteja di Indicinema pada awal 2020. Tiket pemutaran untuk ruangan berkapasitas 50 penonton ludes. Saat itu mayoritas penonton justru berasal dari kalangan umum non-komunitas. Mereka mengetahui film pendek tersebut melalui ulasan media masyhur berbasis daring. Contoh lain, film “Kucumbu Tubuh Indahku” karya Garin Nugroho menjadi film dengan jumlah penonton terbanyak sepanjang Indicinema berdiri. Penonton umum mengetahui film tersebut lewat kontroversi yang diangkat oleh produksi lantas kebingungan mendistribusikan filmnya. Beberapa memilih untuk membuat pemutaran mandiri tanpa bermitra dengan komunitas ekshibisi. Dalam banyak kesempatan, inisiatif itu hanya dinikmati warga komunitasnya sendiri. Di sisi lain, belum banyak penonton umum yang familiar dengan pemutaran film-film alternatif oleh komunitasKondisi ini tentu agak disayangkan. Lewat penonton yang lebih beragam, pegiat komunitas produksi dapat pula bertemu bermacam penilaian penonton dan umpan balik. Dengan menonton karya-karya komunitas lain, suatu komunitas dapat memperoleh perspektif baru dan referensi dalam berkarya. Pertukaran dan perluasan gagasan dimungkinkan. Sebaliknya, publik—termasuk yang belum familiar dengan pemutaran alternatif—pun dapat bertemu dengan berbagai macam contoh kasus Sinerame dan Indicinema, pengalaman komunitas Bahasinema dapat pula dijadikan komparasi. Program-program pemutaran Bahasinema selalu bekerja sama dengan penyedia ruang yang berbeda. Dalam sesi diskusi di salah satu kafe populer di akhir tahun 2018, penonton-penonton yang mayoritas berasal dari segmen pengunjung kafe mengatakan pengalaman itu kali pertama mereka berkenalan dengan film-film pendek alternatif dan mereka Kristianto, programmer Jogja-NETPAC Asian Film Festival asal Bandung, berpendapat komunitas Bandung cenderung hanya “asyik sendiri” dalam lingkarannya masing-masing. Mahfum bila sosok pegiat komunitas seperti Deden dan Roufy menyayangkan hilangnya Nonton Film di Gang, lantaran keterhubungan antarkomunitas meluntur seiring itu. Sebab, bersamaan dengan hadirnya ruang fisik dan momen, dimungkinkan pula terjalinnya keterhubungan dan kebersamaan. Sebs Cine ClubShooting Maybe Someday Another Day But Not TodayTak Ada Menara Gading yang Tak RetakJanuari 2022 lalu, Coffie Coordination for Film Festival in Indonesia memulai rangkaian diskusi publik yang mempertemukan penyelenggara berbagai festival di berbagai kota, dan Bandung menjadi kota pertama. Saat itu hadir empat narasumber yang mewakili empat penyelenggara festival di Bandung Ganesha Film Festival Ganffest ITB, Bandung Independent Film Festival BIFF—sebelum dikelola mandiri di luar kampus, BIFF awalnya festival film asal kampus Institut Seni Budaya Indonesia ISBI—, Jatinangor Film Festival Universitas Padjajaran, dan International Photography and Short Movie Festival IPSM Universitas Telkom. Rupanya dari keempat narasumber hanya Adam yang merupakan pengelola BIFF yang pernah datang ke festival “tetangga”. Ia mengunjungi Ganesha Film Festival. Tiga pengelola sisanya hanya familiar saja dengan festival dari pandemi COVID-19 sejak Maret 2020, ada dua catatan dari diskusi daring itu. Pertama, festival film pada skena komunitas Bandung, sebagaimana komunitas produksi, juga berada pada institusi-institusi pendidikan tinggi. Kedua, pentingnya distribusi pengetahuan baik secara vertikal, yakni dalam komunitas yang sama dari senior ke junior—seperti tugas “safari festival”, maupun secara horizontal yakni antarkomunitas dan antarinstitusiKedua hal tersebut berkaitan dengan persoalan keberlangsungan dan sinergi antarkomunitas yang membentuk jejaring dan ekosistem skena film Bandung. Seperti yang sudah disebutkan pada bagian tulisan sebelumnya, skena Bandung didominasi oleh komunitas berbasis kampus, disertai tendensi keterpisahan dalam jejaring komunitas di Bandung. Kedua kondisi ini dapat lebih dipahami jika dikaitkan dengan kenyataan bahwa institusi pendidikan memiliki jaminan atas keberlangsungan komunitas sehingga secara kelembagaan komunitas-komunitas ini cenderung beroperasi sendiri-sendiri. Kendatipun ada kerja sama antarkomunitas, sebagian bersifat pendek dan hanya bagian kecil dalam satu acara, alih-alih kemitraan strategis jangka panjang. CinemoraShooting The Boy With Moving ImageLebih lanjut, komunitas produksi asal Bandung juga amat minim melakukan kerjasama dengan komunitas dari daerah lain. Seperti yang dikatakan Yustinus, kerjasama yang ada bersifat personal yang mana didasarkan pada portofolio individu. Sementara pada ranah ekshibisi, kerjasama komunitas Bandung dengan daerah lain mungkin bisa dihitung dengan ada empat “privilese” yang dimiliki komunitas berbasis kampus. Pertama, sistem pendanaan yang lebih stabil, yang selanjutnya dilengkapi dengan sistem manajerial pengelolaan komunitas dan mekanisme akuntabilitas. Kemudian, regenerasi pengurus dan anggota yang ajeg. Terakhir, potensi keberlanjutan aspek transfer pengetahuan yang lebih dimungkinkan. Melalui sistem regenerasi yang fungsional, transfer pengetahuan dapat diwujudkan, meski perlu digarisbawahi bahwa itu bukanlah pada komunitas non-kampus menanggung beban lebih berat karena tidak ada pembaharuan personil secara konstan berkala. Pengelolaan komunitas malah terlalu bertumpu pada personal yang kemudian menjadi sosok “abadi” ketokohan dan patronasi. Sepintas gaya pengelolaan semacam ini “aman” karena dibayangkan ada perencanaan dan pelaksanaan jangka panjang, ketimbang pergantian pengelola yang terjadi secara cepat di komunitas yang kadang terjadi adalah kegagalan di dua sisi. Perencanaan dan pengembangan jangka panjang tidak berjalan, serta tidak terbentuk sistem pengelolaan yang mapan. Ketika para patron tidak lagi terlampau aktif, komunitas menjadi mandek sementara pengetahuannya bahkan belum sempat didistribusikan. Pun ketika tokoh-tokoh ini tetap aktif, stabilitas rentan tergelincir menjadi stagnasi, bahkan kemunduran, karena nyaris tidak ada Deden, Yustinus, Roufy, Damar Bagaskoro, maupun Malikkul Saleh sekretaris jenderal Bandung Film Commission berpendapat bahwa secara general regenerasi komunitas di Bandung cenderung melempem. Kekhawatiran itu ditujukan pada belum adanya sosok pembuat film dan juru program generasi baru yang menonjol selama beberapa tahun terakhir. Pembaharuan personil tidak serta merta sama dengan kontinuitas perkembangan “output” manusianya. Di skena Bandung, menurut Malikkul, secara general sulit ditemukan orang dengan kemampuan kuratorial yang mumpuni. Akhirnya banyak pemutaran yang kualitas programasinya setengah matang, dan berakhir menjadi kegiatan yang terjadwal ranah produksi, Roufy menandai kecenderungan pembuat film generasi baru justru mengekor karya-karya terdahulu yang sudah lebih dulu masyhur. Roufy melihat pula bagaimana setiap komunitas produksi sudah memiliki gayanya masing-masing yang kemudian diwariskan dari generasi ke generasi, sehingga pembuat film sulit “membebaskan diri” dari pola tradisi tersebut. Konsekuensinya, minim karya-karya yang segar dan memiliki terobosan. Kecenderungan untuk hanya berkutat pada komunitas masing-masing, dan atensi hanya ditujukan pada ranah produksi saja adalah salah satu faktor utama dari situasi ini. Roufy mencontohkan bagaimana ia dulu justru bergabung dengan komunitas non-produksi di luar kampus demi menyaksikan beragam film dan belajar cara membacanya. Deden yang juga merupakan seorang dosen menambahkan bahwa pengetahuan yang diperoleh di bangku perkuliahan tidaklah cukup jika tidak disertai pengalaman riil belajar secara langsung “lapangan”.Eksistensi dalam Dunia yang DiisolasiDari sebuah kotak dus muncullah seorang anak laki-laki. Seiring waktu ia mulai bertanya-tanya meratapi eksistensinya “…mengapa aku harus seperti mereka? … aku mencari sesuatu yang tidak aku ketahui…”. Ia menyaksikan kehidupan manusia-manusia lain beserta segala konflik dan krisis eksistensialnya. Ia pun menghindari interaksi dengan mereka. Anak laki-laki ini lantas memilih berlari pulang “meninggalkan dunia” untuk kembali ke dalam penggalan adegan dalam film “Whispering Box” 2014 karya Irvan Aulia. Irvan Aulia adalah nama yang disebut-sebut oleh Yustinus dan Roufy sebagai salah satu sutradara muda yang karyanya memiliki kekhasan dan berdampak pada generasi selanjutnya, bersanding dengan Bihar Jafarian, Prama Yodha, Gilang Bayu Santoso, Gerry Fairus, Mustafa, dan Roufy sendiri. Kisah dalam film “Whispering Box” menjadi gambaran, sekaligus pula afirmasi, atas tendensi komunitas Bandung yang gemar berjibaku hanya pada “kardus” baca lingkaran-nya untuk berkutat hanya pada lingkup hidup “mikro” personal, domestik, cakupan kecil merembesi narasi-narasi dalam film komunitas Bandung. Kisah-kisah ini seperti mereka ulang kebiasaan hidup dalam “menara gading” masing-masing komunitas sehingga berjarak dari kompleksitas kenyataan. Hal ini kemudian terwujud dalam isu yang diangkat dan digambarkan dalam film, dan bagaimana problematika itu disikapi dan diselesaikan oleh tokoh dalam Bagaskoro menambahkan bahwa film komunitas Bandung bercorak apolitis. Konflik yang hadir dalam narasinya seperti dicabut dari realitas dan absen konteks sosial. Pun ada kecenderungan untuk mengisolasinya dalam lingkup domestik, seakan-akan sama sekali tidak ada keterkaitan dengan dunia di umum ada penutup atau “solusi yang memuaskan” atas konflik diangkat oleh film. Situasi ini dapat terjadi karena keengganan untuk mendekati dan/ atau kegagalan pembuat film dalam memahami carut-marutnya realitas. Akibat kenyataan yang disimplifikasi—hanya melihat hal yang di permukaan dan familiar—, maka persoalan seakan-akan dapat diselesaikan dengan cara yang mudah saja. Malikkul mengamini pendapat Damar yakni film-film Bandung cenderung belum memiliki kedalaman isu. Sementara Yustinus mengaitkannya dengan sejumlah karakteristik, yakni 1 gaya populer dan membicarakan hal-hal di permukaan; 2 kecenderungan narasi inspiratif motivasional dan sugar coating; 3 reproduksi nilai normatif arus tersebut, terutama dari Damar dan Yustinus kian menegaskan kecenderungan untuk mengedepankan aspek internal saya dan kelompok-saya. Seolah-olah kesulitan hidup yang dialami oleh seseorang hanya terkait dengan dirinya saja, dan individu bukanlah bagian dari dunia. Secara implisit hadir keyakinan bahwa merupakan tanggung jawab individu untuk mengembalikan kekacauan pada kondisi ideal. Persoalan dan “bencana” adalah konsekuensi “hukuman” dari kegagalan individu. Narasi ideal inspiratif muncul seiring dengan “kesabaran” tokoh melewati masalah, sambil tetap mempertahankan moralitasnya yang hitam-putih, alih-alih terkontaminasi kemuskilan realitas. Di titik ini—terutama jika kembali mengacu pada pendapat Yustinus—menjadi kentara bahwa sekalipun diproduksi oleh komunitas, film alternatif Bandung cenderung tidak mengarah pada pembentukan wacana lanjut, tendensi untuk menghindari kompleksitas keadaan tidak hanya muncul dalam narasi filmnya, melainkan juga muncul dalam ruang-ruang pemutaran dan diskusinya. “… mereka tidak punya latar belakang programasi ekshibisi yang memadai, jadi mereka bikin pemutaran yang tanpa programasi … baik itu yang dilakukan komunitas di dalam kampus maupun di luar kampus. … lebih ngepop … kurang serius … mungkin itulah ciri khas Bandung. Bandung tuh gak mau mikir yang terlalu susah-susah, gak mau dalem-dalem mikirnya, jadi ya seru-seruan aja,” demikian Malikkul menjelaskan gaya ekshibisi di itu Roufy menjelaskan pendekatan yang ia ambil melalui Cinemora Open House sehingga pemutaran rutin bulanan yang baru dimulai tahun lalu ini hampir selalu penuh sesuai kapasitas maksimal penonton. Ketika di saat bersamaan, akibat pandemi, justru banyak ruang pemutaran yang non-aktif.“… itu selalu full aja, bayar tiket pun sepuluh ribu. Ketika aku buat screening itu memang ada perubahan ambience yang aku coba, gimana waktu diskusi itu jangan serius … duduk bersila, ruangnya akrab banget, deket, kita sama penonton tuh deket karena saung. Jadi mereka merasa cair juga. …. Filmnya serius tapi dibawa becanda .. aku rasa kultur di Bandung tuh bodor, jangan terlalu serius-serius banget. Kalo ada orang serius di Bandung kayanya malah dicengin … Kayanya orang di sini gak bisa dibawa terlalu serius…”demikian penjelasan Roufy mengenai “resep suksesnya”. Lewat penuturan Malikkul dan Roufy, serta pendapat Deden dan Yustinus, secara tersirat ada anggapan yang bersifat dualistik, yakni antara sesuatu yang “seru dan ringan populer” dengan sesuatu yang "serius, mikir dalem, dan rumit”. Oposisi ini analog dengan gambaran yang ditunjukkan oleh film “Whispering Box” 4 GA ProductionShooting WordsDalam pengamatannya pada film-film pendek komunitas Bandung yang dirilis pada tahun 2019-2020, Damar mencatat ada empat corak cerita yang dominan 1 horor, 2 elemen imajiner yang menginterupsi realitas, 3 konflik domestik yang terisolasi, umumnya terkait figur paternalistik, 4 gaya absurd “Roufy-isme” dan para filmmaker yang terinspirasi olehnya.Dari catatan Damar tersebut, kisah tentang elemen imajiner yang menginterupsi realitas, pun isolasi konflik pada ruang domestik, seperti kembali mengafirmasi adanya pola untuk “memalingkan” diri dari kompleksitas kenyataan atau upaya pemberian solusi pintas. Sementara pola narasi yang berpusat pada figur paternalistik berkenaan dengan tidak hanya dengan tendensi mengawetkan moralitas normatif, melainkan juga mengisyaratkan corak film “Loper” 2013 karya alm Dendie Archenius dikisahkan ada seorang suami yang tanpa sengaja menerima koran “ajaib” dari masa depan. Dalam surat kabar itu termuat berita bahwa akan terjadi malapetaka di rumahnya, dan ia menjadi korbannya. Alih-alih melarikan diri ke luar rumah, ia justru semakin mengurung diri di rumah dan berwaspada untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Malam itu, pelaku yang berniat jahat muncul istri dan teman perempuannya. Setelah serangkaian upaya membela diri, sang suami selamat, sementara istri dan temannya tewas. Pagi harinya semua nampak baik-baik saja, seolah tak pernah terjadi apa-apa di rumah itu. Sang suami akhirnya membuka pintu pagar. Ia berdiri di ambang batas antara area teras rumahnya dengan jalanan demi berbincang dan berterima kasih kepada sang loper “Loper” yang menjadi official selection Ganffest 2014 secara tersirat sudah mengamini argumen Damar. Sekalipun berdiam diri dalam lingkaran masing-masing membahayakan bagi keberlangsungan dan perkembangan individu dan komunitasnya sendiri, pola tersebut masih tetap menggejala di skena komunitas film Membara, Minim RencanaKesamaan minat pada film merupakan alasan utama dari terbentuknya komunitas-komunitas ini. Di samping itu, adapun alasan profesional, misalnya pada mahasiswa kampus jurusan film dan rumah produksi. Minat “passion” adalah bahan bakar untuk memulai dan menggerakkan tentu minat saja tidak cukup. Damar misalnya membuka diskusi mengenai banyaknya pegiat yang “berguguran” dari komunitas, serta komunitas atau kegiatan yang “gulung tikar” lewat sebuah pertanyaan “apakah memang naturnya seperti itu, atau itu mismanajemen?”. Sementara Malikkul mewanti-wanti bahwa komunitas tidak bisa hanya mengandalkan “seru-seruan” saja, karena dalam pengelolaan diperlukan komitmen dan kemampuan manajerial. Ia menambahkan, komunitas akan sulit dikelola jika hanya mengandalkan sisa waktu luang dari membandingkan pandangan dari Damar dan Malikkul dengan pola regenerasi di skena komunitas Bandung, ada benang merah. Dalam konteks pegiat komunitas film dari kalangan mahasiswa, beberapa tidak melanjutkan beraktivitas di komunitas setelah menamatkan studinya. Orang datang silih berganti di komunitas kampus. Ketika pelajar tersebut sudah terjun ke dunia kerja, maka tuntutan untuk berkomitmen pada komunitas menjadi semacam beban ganda. Tidak sedikit pula pegiat komunitas Bandung yang lantas memilih untuk berpindah ke Jakarta karena alasan pekerjaan, baik masih dalam ranah yang berkaitan dengan perfilman maupun bidang yang berbeda. Ibukota, yang hanya berjarak dua jam dari Bandung, masih dianggap lebih “menjanjikan”.Malikkul maupun Deden adalah pengurus dari Bandung Film Commission BFC—komisi film daerah yang juga berfungsi sebagai penghubung komunitas-komunitas di Bandung—yang berdiri Maret 2019. Meski demikian keduanya menyadari bahwa BFC belum berfungsi maksimal sebagai “hub” penghubung antarkomunitas karena lembaga sendiri tidak memiliki pendanaan dan pengurusnya tidak bisa total mencurahkan waktu dan fokus lantaran “… masih sibuk dengan periuk nasi nasing-masing”. Rentang MitraEkshibisi / FestivalDari 10 kota, survei menemukan komunitas yang berfokus pada aktivitas ekshibisi berhasil menggaet beragam institusi di luar lingkaran komunitas film. Perusahaan atau institusi swasta adalah mayoritas kolaborator bagi komunitas penyelenggara pemutaran festival dan non-festival. Pemerintah ada di peringkat kedua, yang kemudian disusul oleh komunitas akar pengamatannya, Malikkul berusaha menjabarkan “kekeliruan manajerial” yang kerap terjadi dalam pengelolaan komunitas. BFC pun bukan pengecualian. Manajemen komunitas terlalu bertumpu pada “passion” dan momen-momen “eventual”. Pada praktiknya, komunitas bekerja secara impulsif sporadis, serta tidak memiliki visi jangka panjang berkesinambungan. Perencanaan termasuk rencana pelaksanaan, sistem kerja, strategi, serta nilai dan target tidak terjelaskan. Dan terakhir, minimnya orang yang berkomitmen menyayangkan disfungsinya lembaga yang dibentuk guna menghubungkan dan mewadahi komunitas-komunitas film di Bandung. Ia mengingatkan, jika lembaga representatif gagal menjadi “payung” yang menaungi, maka akan membuat komunitas-komunitas di bawahnya, pada akhirnya tetap berusaha contoh kasus Kedai Cas, dari contoh kasus BFC—yang pengurusnya rata-rata adalah “perwakilan” dari komunitas-komunitas di Bandung—iktikad untuk saling terhubung satu sama lain pun tidak cukup akibat ketiadaan “logistik” dana dan ruang fisik yang dapat dijadikan ruang aktivitas bersama di lokasi strategis. Seperti yang digelisahkan Deden “… logistik gak ada cuma mengandalkan semangat”. Aktivitas pada skala kecil mungkin terselamatkan lantaran dana bukanlah faktor dominan. Di sini modal sosial akses pada sumber daya manusia dan jejaring lebih penting. Namun, “pada skala kerja yang lebih besar dan mutakhir, tidak bisa tanpa dana…”, demikian menjadi lebih pelik pada komunitas di luar kampus. Pada satu pihak, komunitas dituntut untuk mampu membiayai operasionalnya. Di saat bersamaan, para pegiatnya mesti membiayai ongkos—tidak hanya uang, melainkan juga waktu dan tenaga—keterlibatannya dalam aktivitas komunitas. Padahal, pertama-tama, pegiat—khususnya mengacu kepada mereka yang sudah bekerja—mesti pula mencari nafkah untuk kebertahanan kehidupannya. Tidak mengherankan jika banyak mahasiswa yang berhenti dari aktivitas komunitas ketika sudah terjun ke dunia kerja. Dari sini dapat dipahami mengapa ada pola “come and go”.Lebih lanjut, keterputusan juga menggejala di skala yang lebih besar yakni antara komunitas dengan pemerintah. Di titik ini, BFC berada pada posisi yang tidak mudah karena sekalipun memosisikan diri sebagai “konektor” penghubung, mediator posisi tawar yang dimilikinya relatif rendah. Kebijakan, termasuk juga pendanaan dan fasilitas, yang disediakan oleh pemerintah kerap kali tidak tepat guna. “Pemerintah lack of knowledge and less inisiative … pemerintah kurang mendengarkan komunitas … tidak sesuai kebutuhan karena tidak minta saran…”, demikian kekecewaan Malikkul. Keresahan lainnya muncul dari Yustinus perihal ketidakmerataan dukungan material dari pemerintah. Hal ini terjadi karena keterbatasan pengetahuan pemerintah terhadap kondisi skena, sehingga menimbulkan “kesalahpahaman”. Pemerintah dianggap “mesra” dengan komunitas-komunitas tertentu saja. Strategi KomunikasiSeiring dengan tingginya penetrasi media digital di Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, media sosial dan aplikasi pesan singkat menjadi dua medium utama yang digunakan dalam memasarkan acara pemutaran Memisahkan, Internet MenyatukanPandemi COVID-19 telah mengubah kondisi skena komunitas film di Bandung. Berbagai komunitas, terutama komunitas berbasis kampus, memindahkan aktivitasnya ke ruang virtual. Festival film seperti Ganffest 2022 diselenggarakan secara daring, sedangkan BIFF menunda waktu penyelenggaraannya selama setahun menjadi Juli 2022. Sejumlah kegiatan pemutaran alternatif—termasuk lembaga swasta yang bekerja sama menyediakan ruangan pemutaran— berhenti beroperasi akibat pandemi. Bahkan ketika pandemi sudah terkendali dan berbagai kegiatan luring kembali dimungkinkan, bioskop alternatif seperti Indicinema masih belum aktif kembali. Secara kontras, seperti yang dituturkan Deden, pandemi telah membuat rumah-rumah produksi justru kebanjiran tawaran pekerjaan. Tingginya permintaan akan konten audio-visual seiring dengan semakin masifnya aktivitas di dunia digitalBeberapa tahun terakhir, dan kemudian mencapai puncaknya ketika pandemi, memperlihatkan bagaimana media sosial dan algoritma memiliki andil signifikan dalam menyebarluaskan informasi pemutaran alternatif. Sinerame yang dimulai per Juli 2022 menunjukkan tren baru, yakni kehadiran penonton dari kalangan umum bahkan berasal dari luar Kota Bandung yang mengetahui kegiatan pemutaran film lewat informasi internet. Agaknya tidak beroperasinya bioskop berjaringan di pusat-pusat perbelanjaan untuk waktu yang relatif panjang akibat pandemi telah menggeser kebiasaan penonton. Ketersebaran film-film alternatif di internet membuat khalayak melirik tayangan film di luar bioskop arus dari konsekuensi yang dibawa oleh algoritma, internet mengeksplisitkan cara kerja jejaring menghubungkan dan menyinkronkan hal-hal yang sebelumnya terpisah. Komunitas-komunitas Bandung yang cenderung terpisah-pisah, berkutat dalam lingkarannya masing-masing, dan tidak sinergis barangkali perlu mereorientasi cara kerjanya. Komunitas sendiri menyiratkan adanya keterhubungan kolektif antar pihak secara sinergis, termasuk pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Dalam mengupayakan keterhubungan dan kesinambungan, kemampuan untuk melihat relevansi mutlak diperlukan dalam berkomunitas maupun berkarya; bahwasanya berbagai hal saling terhubung, memengaruhi, dan berdampak. Karya-karya pilihan Kota Bandung
Lihatdetail, foto dan peta dari listing properti 19775251 - disewa - For Rent Rumah/gudang/ruang produksi dian permai raya - Babakan Ciparay, Bandung, Jawa Barat, 700 m², Rp 175 jt /tahun To comply with GDPR we will not store any personally identifiable information from you.
JAKARTA, - Home for Rent adalah film asal Thailand yang disutradarai oleh Sophon Sakdaphisit. Film hasil garapan rumah produksi Feat Pictures ini digadang sebagai hasil adaptasi dari kejadian nyata yang dengan genre horror-thriller ini dijadwalkan akan segera tayang di bioskop pada 21 Juni 2023 mendatang. Adapun film ini akan dibintangi oleh pemeran seperti Nittha Jirayungyurn, Sukollawat Kanarot, Penpak Sirikul, dan Thanyaphat Mayuraleela. Baca juga Sinopsis Love & Death, Perselingkuhan Berujung Maut Film Home for Rent akan menceritakan kisah tentang seorang pemilik rumah yang menyewakan rumahnya kepada orang lain. Pada awalnya, penyewa rumah tersebut nampak seperti penyewa pada umumnya, bahkan terlihat sangat hari demi hari, sang pemilik rumah pun menyadari adanya keanehan dari penyewa rumah tersebut. Ia menemukan berbagai macam simbol aneh di rumahnya itu yang dibuat menggunakan darah segar. Para tetangga sekitarnya juga mengatakan bahwa dari rumah tersebut sering terdengar suara-suara pemujaan setiap jam empat pagi. Baca juga Sinopsis Kutukan Peti Mati, Bangkitnya Arwah Penasaran di Pulau Onrust Setelah diselidiki, ternyata penyewa rumah tersebut adalah penganut sekte gelap yang mengincar pemilik rumah dan mencari mangsa. Seperti apa kisahnya? Akankah pemilik rumah terbebas dari teror tersebut? Saksikan film Home for Rent di bioskop, segera. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Pekalongan(ANTARA) - Rumah produksi Aksa Bumi Langit Bandung, Jawa Barat, menggarap film berjudul Alang-Alang di Kota Pekalongan, Jawa Tengah, dengan melibatkan 65 persen kru dan pemain dari warga setempat.1. Universal Studios Negara Amerika Serikat Universal Studios merupakan perusahaan film Amerika Serikat, yang didirikan sekitar tahun 1912 oleh Carl Laemmle. Perusahaan ini berlokasi di San Fernando Valley, Los Angeles, California, AS, dan memproduksi beberapa film unggulan. Beberapa film diproduksi oleh sutradara Steven Spielberg dengan asisten Melinda Gates. Saat ini, Universal Studios merupakan bagian dari Comcast. 2. Paramount Pictures Negara Amerika Serikat Paramount Pictures Corporation adalah perusahaan produsen dan distributor film Amerika Serikat yang bermarkas di Hollywood, California. Perusahaan ini adalah perusahaan studio film tertua Amerika Serikat yang masih bertahan. Paramount dimiliki oleh konglomerat media Viacom. 3. DC Comics Negara Amerika Serikat DC Comics awal berdiri National Allied Publications pada tahun 1934[1] adalah sebuah perusahaan komik dan perusahaan terkait yang terbesar di Amerika, bersama dengan Marvel Comics. Sebuah anak perusahaan dari Warner Bros. Entertainment sejak 1969, [2] DC Comics menerbitkan sejumlah besar tokoh-tokoh terkenal seperti Superman, Batman, Wonder Woman, Flash, Green Lantern dan the Justice League of America. 4. Warner Bros Negara Amerika Serikat Warner Bros. Entertainment, Inc. dikenal juga sebagai Warner Bros. Pictures, Warner Bros., bentuk formalnya Warner Brothers adalah salah satu produser film dan televisi terbesar di dunia. Sekarang merupakan anak perusahaan dari grup Time Warner yang bermarkas di Burbank, California, Amerika Serikat. Warner Bros. juga memiliki sejumlah anak perusahaan, termasuk Warner Bros. Studios, Warner Bros. Pictures, Warner Bros. Television, Warner Bros. Animation, Warner Home Video, dan DC Comics, serta memiliki separuh saham jaringan televisi The CW. Didirikan pada tahun 1918, Warner Bros. adalah studio film Amerika ketiga tertua yang masih beroperasi, setelah Paramount Pictures yang didirikan pada tahun 1912 di bawah nama Famous Players, dan Universal Studios yang juga didirikan pada tahun 1912. 5. Sony Negara Jepang Sony adalah perusahaan elektronik yang berpusat di Tokyo, Jepang. Sekarang, Sony merupakan produsen elektronik terbesar di dunia, dan salah satu perusahaan terbesar di Jepang dan dunia. Perusahaan Sony diperdagangkan di Bursa Saham Tokyo dengan nomor 6758 dan Bursa Saham New York sebagai SNE melalui ADR. 6. Sony Pictures Entertainment Negara Amerika Serikat Sony Pictures Entertainment SPE, Sony Pictures Entertainment Inc. adalah sebuah produsen film dan acara televisi yang merupakan bagian dari Sony. Perusahaan ini didirikan pada tahun 1989 oleh The Coca-Cola Company di Amerika Serikat dengan nama Columbia Pictures Entertainment. Pada tahun 1991, setelah diperoleh Sony Corporation, diganti namanya sebagai Sony Pictures Entertainment Inc. Sony telah menciptakan banyak film lainnya produksi dan distribusi unit, seperti pembuatan Sony Pictures Classics untuk tarif rumah seni, dengan membentuk Columbia TriStar Pictures menggabungkan Columbia Pictures dan TriStar Pictures pada tahun 1998, revitalisasi Columbia Pictures TV, mantan divisi Screen Gems. Pada tahun 2007, Sony dan Warner Brothers membeli FremantleMedia. 7. HBO Home Box Office Negara Amerika Serikat HBO Home Box Office adalah stasiun televisi Amerika Serikat yang dimiliki oleh Time Warner. Programnya ditayangkan 24 jam sehari kepada lebih dari 40 juta pelanggan tanpa selingan iklan. Selain itu berbagai produknya juga dipasarkan ke lebih dari 150 negara. Pada 1965, Charles Dolan mendapat izin untuk mendirikan sistem televisi kabel di Manhattan. Sistem ini dinamai Sterling Manhattan Cable dan dengan dukungan Time Life, Inc. meluncurkan Green Channel yang kemudian diubah namanya menjadi Home Box Office pada 8 November 1972. Tayangan perdana HBO adalah pertandingan langsung antara New York Rangers dan Vancouver Canucks, dilanjutkan dengan film Sometimes a Great Notion. Pada 28 Desember 1981, HBO mulai menayangkan acara televisi 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Pada 1983, mereka mulai memproduksi film sendiri dengan The Terry Fox Story. Saat ini berbagai film seri produksi HBO ditayangkan oleh stasiun televisi non-kabel di luar AS, misalnya Sex and the City, The Sopranos, dan Six Feet Under. 8. Metro-Goldwyn-Mayer Negara Amerika Serikat Metro-Goldwyn-Mayer Inc., atau MGM merupakan sebuah perusahaan multinasional yang menghasilkan berbagai macam produk film. Bermarkas di Los Angeles, California, Amerika Serikat. Didirikan pada tanggal 16 April 1924. Perusahaan ini mempekerjakan karyawannya hingga tahun 2004. 9. Marvel Comics Negara Amerika Serikat Marvel Comics atau Marvel Worldwide Inc. sebelumnya Marvel Publishing Inc. dan Marvel Comics Group adalah nama suatu perusahaan dari Amerika Serikat yang memproduksi buku komik dan media lain yang berkaitan. Marvel pertama kali didirikan dengan nama "Timely Publications" pada tahun 1939 dan sempat berganti nama menjadi "Atlas Comics" sebelum akhirnya menjadi Marvel Comics pada tahun 1961. Sekarang, Marvel telah menjadi salah satu penerbit buku komik terbesar bersama dengan perusahaan saingan lamanya DC Comics. Marvel terkenal karena telah mengorbitkan karakter-karakter komik populer seperti Captain America, Spider-Man, Iron Man, Hulk, Thor, Black Widow, Doctor Strange, Daredevil, Wolverine dan Ant-Man dan tim seperti Avengers, Guardians of the Galaxy, Fantastic Four, dan X-Men, dan antagonis seperti Doctor Doom, Red Skull, Green Goblin, Ultron, Doctor Octopus, Magneto, Venom dan Loki. Sebagian besar karakter ciptaan Marvel beroperasi dalam dunia yang dikenal sebagai Marvel Universe. Belakangan, banyak dari karakter Marvel tersebut yang muncul dalam media hiburan lain seperti serial kartun, film, dan permainan video. Marvel juga memiliki situs wikinya sendiri. Situs tersebut diluncurkan pada tahun 2006 dan memuat berbagai informasi dalam jagad Marvel. Pada tahun 2009, The Walt Disney Company menyatakan sepakat untuk membeli Marvel Entertainment sebesar USD 4 miliar adalam transaksi saham dan uang tunai. Dengan demikian, perusahaan pencipta Mickey Mouse dan Snow White itu berhak atas karakter komik termasuk "Spider-Man," "Iron Man" dan "X-Men". Kesepakatan tersebut akan memberi Disney kepemilikan lebih dari karakter tokoh Marvel Entertainment. Para Superhero tersebut akan tersedia dalam segala bentuk barang dagangan dan pernak-pernik keren sebagai usaha dari Disney untuk menarik minat anak laki-laki untuk membelinya, seperti yang dikutip Reuters. 10. The Walt Disney Company Negara Amerika Serikat The Walt Disney Company NYSE DIS atau lebih dikenal dengan nama Disney adalah perusahaan konglomerat di bidang hiburan dan media terbesar di dunia. Didirikan pada 16 Oktober 1923, perusahaan ini didirikan oleh Walt Disney dan Roy Oliver Disney dengan nama Disney Brothers Cartoon Studio. Pusatnya terletak di Burbank, California. Laba Disney pada 2004 adalah sebesar $30,8 miliar USD dan merupakan komponen Dow Jones Industrial Average. Perusahaan ini dikenal sebagai Walt Disney Productions, Ltd. sampai 6 Februari 1986 dan kemudian diubah menjadi namanya sekarang. 11. DreamWorks Negara Amerika Serikat DreamWorks Pictures dikenal juga sebagai DreamWorks SKG atau DreamWorks Studios, sering disebut sebagai DreamWorks, perdagangan sebagaiStoryteller Distribution Co., LLC adalah perusahaan pembuat film utama di Amerika Serikat, yang membuat, menghasilkan dan memasarkan film-film, video permainan dan program-program televisi. Mereka telah menghasilkan ataupun memasarkan tidak kurang dari sepuluh buah film dengan pendapatan kotor dari film-film yang mencapai "box-office" sebesar US$ 100 juta per filmnya. Filmnya yang paling sukses baru-baru ini adalah Shrek 2. Perusahaan ini mulai didirikan pada tahun 1994 sebagai wadah untuk menuangkan ide-ide terbaik dari pakar media, Steven Spielberg, Jeffrey Katzenberg, dan David Geffen Inisial dari ketiga pendiri itu, yaitu S dari Spielberg, K dari Katzenberg dan G dari Geffen membentuk tulisan SKG yang tampak pada bagian bawah dari logo perusahaan ini untuk membuat sebuah studio Hollywood yang baru. Baru kemudian di bulan Desember 2005, ketiga pendiri tersebut setuju untuk menjualnya ke Viacom, perusahaan induk dari Paramount Pictures. Proses penjualan ini dapat diselesaikan pada bulan Februari 2006. Salah satu bagian dari perusahaan ini yang membidangi animasi telah dipisahkan dari perusahaan induknya pada tahun 2004, menjadi DreamWorks Animation SKG. Film-filmnya diedarkan Paramount Pictures, namun bagian animasi tetap merupakan bagian yang terpisah baik dari Paramount Pictures maupun Viacom. Pada tahun 2008, DreamWorks memutus kemitraan dari Paramount dan membayar US$ biliun untuk produksi film dari Reliance ADA Group[3], namun setahun kemudian bekerja sama lagi kepada Paramount. Pada tanggal 9 Februari 2009, DreamWorks dan Paramount memasuki 6 tahun, 30 produksi film oleh The Walt Disney Company, yang memegang DreamWorks sebanyak 50%. 12. Pixar Animation Studios Negara Amerika Serikat Pixar Animation Studios, atau hanya Pixar, distilasi sebagai PIXAR adalah sebuah studio animasi komputer Amerika Serikat yang berpusat di Emeryville, California. Studio ini terkenal karena CGI-film animasi yang dibuat dengan PhotoRealistic RenderMan, implementasi sendiri dari industri RenderManimage-rendering antarmuka pemrograman aplikasi yang digunakan untuk menghasilkan gambar berkualitas tinggi. Pixar dimulai pada tahun 1979 sebagai Graphics Grup, bagian dari divisi komputer Lucasfilmsebelum nya keluar sebagai sebuah perusahaan pada tahun 1986 yang dibiayai oleh Apple Inc. bersama salah seorang pendiri Steve Jobs, yang menjadi pemegang saham mayoritas. The Walt Disney Company membeli Pixar pada tahun 2006 pada dengan $ milyar, transaksi yang dilakukan pemegang saham terbesar Jobs Disney. Sumber Rumah Produksi Film Terbaik di Dunia Gila nih, Amerika punya 11 dari 12 yang terbaik industri Perfileman Amerika memang sangat maju, semoga saja Indonesia mau belajar dari Amerika ya gantoPITiJ.